Pemadaman Bergilir, Siasat PLN Menekan Kerugian?
Pemadaman bergilir yang dilakukan PLN di luar Jawa-Bali pada beberapa tahun terakhir mengindikasikan siasat perusahaan tersebut untuk menekan biaya.
Ini terbaca dari pola pemadaman yang biasanya terjadi pada awal Mei hingga Juni dan awal Oktober hingga awal Desember. Fenomena ini tampaknya terkait dengan pelaporan kinerja keuangan semesteran dan tahunan.
Indikasi ini juga dapat terlihat dimana pada waktu bersamaan terjadi pemadaman bergilir pada lebih dari satu wilayah di Tanah Air. Alasan klasik pihak PLN adalah kerusakan pada pembangkit ataupun transmisi yang perbaikannya memakan waktu lama karena suku cadang harus di impor.
Kondisi ini menimbulkan keanehan. Pertama, pembangkit dan transmisi seakan berperilaku seperti manusia yaitu bisa janjian rusak pada waktu bersamaan pada beberapa wilayah di Indonesia. Kedua, apakah PLN dan swasta yang memasok listrik ke PLN tidak mampu membuat manajemen suku cadangan yang baik setelah mengalami persoalan yang sama dari tahun ke tahun?
Kecurigaan terhadap siasat ini didukung oleh kenyataan, bahwa PLN mengalami pendapatan neto yang negatif pada hampir seluruh wilayah di luar Jawa-Bali. Ini mendorong PLN menghemat produksi untuk menekan kerugian. Anehnya, tagihan listrik ke masyarakat saat pemadaman bergilir tidak berbeda jauh dari tanpa pemadaman bergilir.
Dengan dicabutnya subsidi listrik pada tahun 2016, PLN kelihatannya mulai melakukan penghematan lewat pemadaman bergilir sejak awal tahun. Korbannya mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar Sulawesi.
Perilaku seenaknya PLN dalam memperlakukan masyarakat di luar Jawa-Bali tidak sekedar merugikan individu masyarakat tetapi juga perekonomian daerah dan nasional. Semangat Presiden Jokowi untuk menutup kesenjangan listrik dan ekonomi antar wilayah ternyata tidak diikuti dengan baik oleh pihak PLN. Mereka kelihatannya mempertahankan paradigma lama karena kepongahan mendapat monopoli dalam menyediakan listrik bagi masyarakat.
Sebagai contoh, upaya Presiden Jokowi untuk mendatangkan Kapal Pembangkit Listrik di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur ternyata tidak diikuti oleh kesiapan transmisi PLN. Akibatnya, kapal yang telah tiba pada awal minggu keempat Desember 2015 belum berfungsi hingga saat ini. Sebaliknya justru terjadi pemadaman 6 jam hingga 20 jam sehari di wilayah ini.
Wacana untuk menyelesaikan persoalan listrik lewat pemecahan (spin-off) PLN menjadi dua perusahaan mandiri berdasarkan sumber energi tidaklah efektif dan akan mengalami kendala besar di lapangan. Kendala tersebut menyangkut pembagian wilayah untuk PLN yang menggunakan sumber daya yang tidak terbaharukan dan yang terbaharukan. Ini terkait dengan keberadaan sumber daya terbaharukan tidak tersedia merata di seluruh. Belum lagi persoalan pihak mana yang menguasai transmisinya dan persoalan ego antar kedua perusahaan tersebut nantinya.
Spin-off atas PLN sebaiknya berdasarkan fungsi dan wilayah. Berdasarkan fungsi, yaitu perlu dipisahkan antara fungsi pembangkit dan transmisi. Pemisahan tersebut untuk menghilangkan konflik kepentingan saat swasta ingin masuk pada pembangkit listrik.
Dari aspek wilayah, PLN perlu dipecah menjadi 3 wilayah, yaitu: (1) Jawa-Bali-NTT-NTB; (2) Sumatera-Kalimantan; dan (3) Sulawesi-Maluku-Papua. Dengan demikian, PLN dapat dipecahkan menjadi 6 (enam) perusahaan mandiri. Pemecahan berdasarkan wilayah ini membuat subsidi listrik lebih tepat sasaran dimana wilayah Jawa-Bali-NTT-NTB tidak perlu disubsidi sebab banyak industri di wilayah tersebut yang memungkinkan subsidi silang.
Tanpa perubahan mendasar dalam tubuh PLN, maka kinerja PLN tidak pernah membaik dan menjadi batu sandungan terhadap pembangunan ekonomi negara dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan ini membutuhkan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Hal tersebut perlu menjadi perhatian DPR karena menyangkut kepentingan mendasar masyarakat. DPR diharapkan tidak hanya membuang waktu untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan sebab mereka telah digaji oleh rakyat.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi Manado