Main Masak-Masakan
Hampir semua anak perempuan di dunia pasti pernah bermain masak-masakan. Mencampur dedaunan dan bebungaan aneka warna, sedikit air, dan mungkin pasir atau tanah di dalam wadah. Dengan sigap mengaduk ‘ramuan’ sambil membayangkan menjadi koki masak yang handal.
Kelar masak-masakan buru-buru dihidangkan ke teman sejawat. Dan mereka pun berpura-pura menikmati masakan bohongan tersebut.
Petualangan masak memasak saya sebenarnya dimulai jauh sebelum menikah. Saya suka memasak, sayangnya dahulu orang rumah tidak suka masakan saya. Mungkin eksperimen saya terlalu anti-mainstream untuk orang rumah khususnya Ayah yang tidak suka mencoba makanan baru.
Sadar kesukaan saya memasak tidak didukung. Saya pun malas memasak. Lagipula saat masih gadis tinggal dengan orang tua tidak ada alasan buat saya untuk memasak selain menjadi asisten ibu.
Baru ketika saya harus tinggal di sebuah desa terpencil dengan 4 anak kos untuk menyelesaikan kuliah kerja nyata (KKN). Saya terpaksa jadi induk semang yang rajin masak.
Selama berkuliah 4 tahun saya yang orang Jakarta tak pernah ngekos. Saya yang memilih untuk ‘ngelaju’ bolak-balik Jakarta-Bogor sepanjang berkuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Jadi saya terbiasa tertib, bangun pagi dan makan makanan rumahan serta menghindari mi instan.
Kebalikan dengan 4 teman saya, Faisal, Dije, Fian dan Deci yang terbiasa cuek. Bangun siang, kalau lapar tinggal merebus indomie. Saya pun terpaksa harus rajin masak demi menyelamatkan perut saya dan keempat teman saya dari racun mie instan.
Setiap hari saya bangun pagi, mulai sibuk menyiapkan sarapan, berbelanja untuk makan siang dan malam. Lama-lama keempat teman saya pun terbiasa untuk tidak bergantung pada mie instan. Sesekali teman yang lain juga membantu masak.
Meski masih level pemula, masakan saya cukup enak lho. Meski hanya masakan standar rumahan, seperti nasi goreng, sayur asem, sambal, ayam, dll. Saya belum berani bereksperimen lebih jauh.
Pernah sekali waktu saya menghidangkan nasi goreng kepada teman-teman serumah saat KKN. Semua asyik menikmati nasi goreng yang katanya enak. Bahkan Faisal, orang Medan yang pelit pujian pun ikut memuji.
“Hey, nasi goreng ini enak kali. Pakai bumbu apa kau. Lain kali boleh lah kucoba”, Faisal dengan logat Batak.
Saya pun sumringah, menjawab dengan ringan, “cuma bawang merah, bawang, cabe, gula, garam, kecap dan terasi dikit. Ulek semua sebelum ditumis. Topping sayuran dan lainnya dimasukkan sambil mencampur nasi”.
“Apa kau bilang? Kau masukkan gula ke dalam?” Suara Faisal yang kupanggil Abang terdengar setengah berteriak.
“Iya bang, gula pasir dikit buat pelezat”.
“Siapa suruh?”
“Begitu cara orang Jawa memasak bang, gula pasir sebagai penyedap.” Saya takut setengah mati melihat Faisal melotot.
“Bah!!! Kayak kolak! Mamakku di kampung tak pernah kasih gula sebagai bumbu. Tak enak jadinya…” Logat Medannya semakin kentara. Aku pun ciut, aku yang lapar jadi tak nafsu makan. Buru-buru kutinggal piring yang tinggal berisi nasi goreng kemudian menangis sesenggukan di kamar mandi. Persis adegan penganten baru yang baru diomelin suaminya. Sedih banget!
Keesokan harinya saya masih ngambek. Diam seribu bahasa hingga Faisal mengalah meminta maaf duluan untuk kesalahan yang mungkin tidak pernah dia rasa salah. Toh di Medan, orang memang tak suka memberi gula untuk bumbu.
Setelah menikah, maka petualangan saya akan masak-memasak semakin menggila. Sayangnya resep-resep tradisional Indonesia saya, banyak yang tidak masuk di lidah suami yang besar di barat. Padahal, hampir semua tetangga saya suka masakan saya. Bahkan terkadang suka dapat pesanan catering.
Bahkan parahnya masakan barat saya pun masih terasa Indonesia-nya. Dan itu tidak masuk selera sang suami. Kalau kamu bilang menu di Pizza Hut itu sudah barat banget, itu salah besar! Pizza setebal itu tidak laku di Amerika atau Eropa.
Hal yang paling keki adalah soal sarapan. Buat saya, sarapan itu ya nasi uduk, lontong sayur, atau paling barat Macaroni Schottel deh. Dan kebiasaan suami saya harus mencoret menu nasi, mie dan lain-lainnya di menu sarapan. Lalu apa?
Sarapan pagi itu yoghurt kental yang dikasi madu, diberi topping buah pisang, strawberry, potongan oatmeal cookies dan kismis/kurma. Minumannya, jus buah atau banana smoothie. Padahal kalau orang kita, pamali makan buah pagi-pagi bisa salit perut.
Selain itu? Roti tawar yang dipanggang kemudian dihidangkan dengan selai. Kalau selai strawberry menurut kebanyakan kita orang Indonesia itu ya yang banyak beredar di toko. Itu belum dianggap selai sama suami saya. Selai strawberry itu yang ada tulisannya “preserves”, masih memiliki tekstur strawberry.
Terkadang roti dibikin french toast, roti tawar dicelupkan di adukan telor, bubuk kayu manis, gula, lalu di panggang di teflon dengan butter.
Kalau tidak pancake dengan saus mapple. Mashed potato dengan telor orek atau scrambled egg. Atau buat bubur oatmeal.
Sebetulnya siang atau malam hari bisa makan nasi. Tapi suami saya memilih salad aneka sayuran mentah dengan salad dressing minimalis, protein di dalamnya bisa suiran ikan/ayam atau daging. Tidak ada gorengan.
Sepanjang menikah, baru sayur asem, rendang yang sudah dikurangi cabenya, semur, sate, ayam panggang, cap cay, yang masuk kategori makanan Indonesia terenak. Beberapa menu makanan internasional pun katanya masih rasa Indonesia menurut dia. Meski begitu, kami sangat jarang jajan di luar lho. Dia akan makan semua masakan saya mesti kadang tidak sesuai seleranya. Kecuali makanannya parah banget, misal hasil eksperimen empek-empek saya tempo hari. Dia tidak memaki hanya bilang, “do you think the stray cats have eaten fish today? I think i will share my portion to them”. Alhasil, malam itu si kucing liar makan empek-empek.
Saya tidak berani menawarkan balado jengkol kesukaan saya ke dia. Karena terakhir kali, buah bacang (mangga liar yg wanginya menusuk dan amboi rasanya itu) harus diungsikan dari kulkas. Duren yang merupakan buah favorit saya dan Sydney pun menjadi semacam siksaan buat dia.
Mmhhh, masak apa ya hari ini?
(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)