Menurut Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, fakta ini sangat ironis. Karena dua tempat tersebut, rumah dan sekolah, seharusnya menjadi wilayah dimana anak-anak mendapatkan rasa aman. “Tapi ironisnya, justru di rumah dan sekolah tingkat kekerasan terhadap anak tinggi. Artinya, telah terjadi disfungsionalitas dalam dua ranah tersebut. Anggota keluarga tidak lagi menjadi protektor bagi anak. Anak juga tidak mendapatkan itu di sekolah. Pertanyaannya, jika di dua tempat itu mereka rentan mengalami tindak kekerasan, lalu kemana lagi mereka bisa menemukan rasa aman? Ini ironis,” kata Farid.
Dilihat dari latarbelakng pelaku tindak kekerasan, hasil riset IMMC menunjukkan bahwa 70% pelaku berasal dari luar keluarga dan 30% dari dalam keluarga sendiri.
Diantara pelaku dari luar keluarga itu adalah guru (15%), polisi (13%), teman (10%), dan pihak-pihak lainnya (47%). “Bisa dilihat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan guru cukup signifikan angkanya, 15%. Data ini korelatif dengan lokasi kekerasan yang terjadi di sekolah sebesar 19%. Artinya, sekolah menjadi tempat yang sangat rentan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Modus kekerasan sangat beragam. Pada tingkat yang paling implisit, proses edukasi secara inhern mengandung aspek violence terhadap anak didik. Sementara di tingkat yang paling kasat mata, tindakan kekerasan dilakukan oleh guru kepada murid, berupa pemukulan, penghukuman, represi psikis dan mental, dan lainnya,” kata Farid.
Sementara itu, dari 30% tindakan kekeraan yang dilakukan di dalam rumah, pelakunya adalah ayah (42%), ibu (34%), keluarga dekat (7%), ayah tiri (4%), ibu angkat (4%). Data ini menunjukkan bahwa keluarga tidak lagi menjalankan fungsionalitasnya. Sebab para anggota keluarga justru menjadi aktor-aktor pelaku kekerasan terhadap anak. “Sosok ayah dan ibu yang seharusnya menjadi pelindung dan tumpuan kasih sayang anak, justru berperan sebaliknya menjadi sumber kekerasan. Telah terjadi disfungsionalitas peran keluarga. Dan berdasarkan riset kami, dari keseluruhan latarbelakang penyebab kekerasan terhadap anak, 10% nya karena disfungsi keluarga dan 5,5% karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” jelas Farid.
Melihat fakta ini, menurut Farid, pemerintah sudah harus serius turun tangan menangani. Dua langkah yang harus dilakukan secara simultan adalah regulasi berupa proteksi dan sanksi. Pelaku harus ditindak keras agar tindakan seperti ini tidak semakin meningkat. Di sisi lain, regulasi harus lebih dini melakukan proses proteksi terhadap penciptaan rasa aman bagi anak. Undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak harus lebih diperketat. Implementasinya juga harus tegas. Tidak boleh ada toleransi terhadap segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak. Terlebih, kekerasan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sebenarnya diharapkan memberikan proteksi. Misalnya, orang tua, guru atau polisi.
Selain proteksi dan sanksi, Farid juga menekankan perhatian pemerintah pada sisi edukasi. Karena riset IMMC menunjukkan bahwa 6% penyebab kekerasan anak terjadi karena pandangan keliru. Artinya, masih ada paradigma yang bisa menjadi pintu masuk dilakukannya tindak kekerasan oleh orang-orang terdekat anak.
Farid menjelaskan bahwa pemerintah juga memiliki tanggungjawab untuk memenuhi hak-hak pemulihan anak korban kekerasan. Baik pemulihan fisik, psikis dan mental. “Pemerintah harus memiliki regulasi yang mengatur pemberian fasilitas pemulihan ini. Bentuknya bisa bermacam-macam. Tapi intinya, menghilangkan efek traumatik anak dan penyembuhan fisik. Ini bagian dari tanggungjawab perlindungan pemerintah terhadap anak,” kata Farid.
IMMC Jakarta
-Rio Yotto – rio@jakartakita.com