Dana aspirasi yang digulirkan DPR merupakan hal yang perlu dikritisi.
Ini tidak sekedar berkaitan dengan besaran angkanya yang fantastik, tetapi juga potensi korupsi yang dapat terjadi serta apakah secara substansi dana aspirasi dibutuhkan.
Besaran dana aspirasi yang mencapai Rp 11,2triliun, bukanlah angka yang kecil. Apabila dana sebesar itu digunakan untuk membangun pembangkit listrik yang sangat dibutuhkan masyarakat dan dapat meningkatkan perekonomian nasional, maka akan diperoleh kapasitas listrik sekitar 500 megawatt (investasi 1 megawatt rata-rata USD 1,8 juta).
Kapasitas listrik ini dapat menerangi dan menjalankan kegiatan bisnis untuk satu provinsi berukuran “sedang” plus satu provinsi “kecil.” Sebagai contoh: kapasitas listrik Sulawesi Utara dan Gorontalo saat ini baru mendekati 500 megawatt.
Selain angka yang sangat besar, beberapa kasus yang melibatkan oknum anggota DPR/D dengan pemenang tender proyek telah menimbulkan sifat skeptic masyarakat terhadap terbebasnya korupsi dalam penggunaan dana aspirasi. Walaupun beberapa anggota DPR berkilah bahwa dana aspirasi akan digelontorkan lewat Dana Alokasi Khusus pada APBD, namun peluang kongkalikong tetap terbuka yang melibatkan oknum anggota DPR, oknum Pemda, dan pemenang tender dengan alasan dana tersebut adalah dana titipan DPR.
Bila dilihat dari substansi perencanaan, dana aspirasi sesungguhnya tidak dibutuhkan apabila mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) ditata dengan baik. Musrenbang pada berbagai tingkatan pemerintahan, mulai desa hingga nasional seharusnya melibatkan anggota DPR/D sesuai dengan daerah pemilihan (dapil) tiap anggota dan cakupan wilayahnya. Banyak kasus di daerah memperlihatkan bahwa rencana eksekutif yang berdasarkan Musrenbang hancur lebur takala masuk pada rapat “setengah kamar” antara eksekutif dengan Badan Anggaran DPRD. Pada momen tersebut masuklah “pola pikir (pokir)” sebagaimana yang terjadi pada APBD DKI Jakarta.
Solusi untuk menghilangkan dana aspirasi dan pokir di masa depan adalah mengatur kembali mekanisme Musrenbang yaitu melibatkan anggota DPR/D dalam tahapan Musrenbang.
Pengaturannya dapat dilakukan sebagai berikut.
(1) Anggota DPRD Tingkat II wajib untuk mengikuti Musrenbang Desa dan Kecamatan sesuai dapilnya serta Musrenbang Kabupaten.
(2) Anggota DPRD Tingkat I wajib mengikuti Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten/Kota sesuai dapilnya serta Musrenbang Provinsi.
(3) Anggota DPR wajib mengikuti Musrenbang Kabupaten/Kota dan Provinsi sesuai dapil serta Musrenbang Nasional. Pengaturan waktu musrenbang disinkronkan dengan masa reses DPR/D. Lewat mekanisme seperti ini mereka bisa mengawal aspirasi prioritas (penting dan mendesak) dari konstituen mereka yang teruang dalam hasil Musrenbang untuk ditata dalam APBN/D. Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk meminta Dana Aspirasi maupun Pokir di kemudian hari***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi Manado