Pelemahan Rupiah dan Potensi Krisis

foto: istimewa

Jakartakita.com – Pelemahan Rupiah yang terjadi beberapa waktu terakhir dimana sempat menyentuh angka Rp 15.000/USD telah menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia akan kembali masuk dalam krisis ekonomi dan keuangan?

Jawabannya sederhana, yaitu bila masyarakat menghendakinya.

Kehendak tersebut diwujudkan lewat respons berlebihan terhadap opini-opini yang menyudutkan dan seringkali liar.

Respons tersebut berupa membeli Dollar atau mata uang asing lainnya untuk spekulasi dan perlindungan asset atau utang secara berlebihan, membeli barang-barang impor atau berbahan baku impor secara panik, dan respons negatif sejenisnya.

Hakikatnya, nilai tukar suatu mata uang terbentuk melalui suatu mekanisme sederhana, yaitu suplai dan permintaan mata uang asing.

Sepanjang proses tersebut terjadi karena cerminan pasar barang dan jasa, misalnya kegiatan ekspor-impor, kegiatan investasi langsung asing, maupun transaksi pasar keuangan yang normal, maka volatilitas nilai tukar relatif kecil atau relatif stabil.

Namun sebaliknya, nilai tukar mata uang akan menjadi sesuatu yang kompleks dan tidak sesuai kondisi ekonomi riil (terdistorsi) apabila terjadi ‘penggorengan’ suatu mata uang lewat pembangunan opini-opini yang diarahkan untuk kepentingan para pelaku keuangan yang rakus untuk mendapatkan keuntungan abnormal maupun oleh elit-elit politik yang ingin menjatuhkan ataupun membangun citra negatif terhadap pemerintah.

Dasar opini yang dibangun oleh pihak-pihak yang bertujuan jahat sering terlalu dipaksakan.

Sebagai contoh, pelemahan Rupiah saat ini dikaitkan dengan kondisi ekonomi Argentina dan Turki yang sedang mengalami krisis dengan menekankan bahwa Indonesia akan mengalami nasib serupa. Faktanya, hubungan ekonomi Indonesia dengan kedua negara tersebut dilihat dari perspektif ekspor-impor relatif kecil. Pada 2017, ekspor Indonesia ke Argentina hanya sebesar USD 266,41 juta atau 0,16% dari total nilai ekspor Indonesia, dan ke Turki hanya sebesar USD 1,17 miliar atau 0,69%.

Pada sisi impor, pada tahun yang sama impor dari Argentina sebesar USD 1,15 miliar atau 0,77% dari total impor Indonesia dan dari Turki hanya sebesar USD 576,24 juta atau 0,38%.

Selain itu, pada periode Januari-Juli 2018, ekspor Indonesia ke dua negara relatif stabil yang mana sudah melebihi 50% ekspor tahun 2017. Ini menandakan krisis kedua negara tersebut tidak berpengaruh terhadap Indonesia.

Adanya opini-opini yang kurang mendasar seperti disebut diatas, dapat merugikan bangsa secara keseluruhan. Maka masyarakat diharapkan lebih bijak menyikapinya.

Sesungguhnya opini-opini tersebut tidak mampu memberikan efek yang berarti jika tidak direspons berlebihan oleh masyarakat. Kata bijaknya, “apabila teras rumah terbakar, jangan ikut membakar isi rumah kita.”

Sementara itu, menghadapi pelemahan Rupiah dan mengantisipasi potensi krisis, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mewakili pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah membuat kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dari pihak pemerintah, kebijakan yang dibuat diantaranya pengendalian impor lewat instrumen pajak dan penggunaan barang substitusi impor. Selanjutnya, BI melakukan beberapa kebijakan diantarnya: (1) menaikan suku bunga kebijakan sebesar 125 basis poin menjadi 5,50% selama tahun 2018; (2) melakukan intervensi di pasar valas serentak dengan pembelian SBN di pasar sekunder; dan (3) menyediakan instrumen swap valas dan swap hedging.

Kebijakan-kebijakan di atas sebaiknya diaplikasikan secara cepat dan dinformasikan secara luas agar menjadi signal yang kuat bagi pelaku pasar dan masyarakat.

Sebagai contoh, BI perlu melakukan swap valas dengan pihak-pihak tertentu dengan nilai kurs dan tanggal exercise yang jelas, dimana tindakan tersebut diinformasi secara luas agar menjadi signal tentang berapa nilai tukar yang ingin dituju BI pada kurun waktu tertentu.

Di samping itu, Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 yang mewajibkan transaksi domestik menggunakan Rupiah perlu ditegakkan secara konsisten untuk mengurangi permintaan mata uang asing.

Tindakan-tindakan seperti ini akan lebih efektif mengurangi efek negatif dari opini yang berseberangan ketimbang perang opini berlebihan yang dapat membingungkan masyarakat.

Dengan demikian, pelemahan Rupiah tidak berkembang menjadi krisis ekonomi dan keuangan.***

Penulis : Agus Tony Poputra – Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Sam Ratulangi, Manado

Agus Tony PoputraBank Indonesia (BI)dolar ASKomite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)opinipelemahan nilai tukar rupiahpengamat ekonomiRupiah
Comments (0)
Add Comment