Jakartakita.com – Kawasan Glodok dan sekitarnya menyimpan sejarah panjang akulturasi budaya Betawi dan Tionghoa. Sejak dahulu Betawi dan etnis Tionghoa hidup berdampingan. Awalnya kawasan ini memang diperuntukkan oleh Belanda sebagai kawasan relokasi warga etnis Tionghoa yang memberontak.
Di ujung Petak Sembilan, berdiri megah sebuah kompleks wihara dengan warna merah menyala. Sejenak anda seperti sedang berada di Beijing. Kelenteng yang dikenal dengan sebutan Vihara Dharma Bakti atau Kim Tek Ie ini dibangun pada tahun 1650. Dahulunya bernama Jinde Yuan, dibangun untuk menghormati Dewi Kwan Im.
Saat Ni Hoe jadi kapiten (1736-1743), tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1740 timbul pemberontakan besar di Batavia, yang berpusat di Glodok. Kurang lebih 10 ribu etnis Tionghoa mati menjadi korban. Kelenteng Jinde Yuan ini pun hancur. Baru pada tahun 1755, kelenteng ini dibangun kembali oleh kapiten Oei Tjhie dan di beri namaKim Tek Ie yang berarti “Kelenteng Kebajikan Emas”.
Suasana Cina Town pada 1949 atawa 67 tahun lalu kita seolah-olah berada di daratan Cina. Huruf-huruf Mandarin terlihat mencolok untuk menunjukkan nama toko dan produk yang dihasilkan.
Gedung-gedung dengan genting-genting yang menjadi ciri khas kediaman masyarakat Cina, kini hampir tidak kita temui lagi. Bagian atas yang runcing dari genting tersebut menandai tingkat status sosial pemiliknya. Konon, makin runcing makin tinggi martabat penghuninya.
Hingga kini, kawasan Petak Sembilan masih menjadi basecamp etnis Tionghoa di Jakarta. Saat Imlek, kawasan ini meriah layaknya di Tiongkok.