Jakartakita.com – Pemandangan aneh, unik, dan tak biasa tersaji di depan Istana Negara, Jakarta, pada 12 April 2016. Sembilan perempuan asal Kendeng, Pati, Jawa Tengah melakukan aksi demonstrasi tak biasa. Mereka dipasung dengan disemen kakinya dalam sebuah kotak.
Tentunya, ada hal tak biasa juga yang membuat terjadinya kejadian tersebut. Kronologisnya adalah sebagai berikut, seperti dilansir siaran pers Komnas Perempuan, Rabu (13/4/2016):
Pada tanggal 19 November 2014, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima pengaduan sembilan orang perempuan/ibu dari Pegunungan Kendeng yang mengadukan tindakan kekerasan dan persoalan yang mereka alami, karena adanya perusahaan semen di wilayah tersebut. Kehadiran mereka didampingi oleh lima orang pendamping, dan mewakili ratusan perempuan/ ibu yang hadir ke Komnas Perempuan.
Beberapa hal yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, adalah:
1) Kekerasan fisik, yang terjadi saat 155 perempuan melakukan aksi menutup jalan menuju lokasi peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen, dan dihalau oleh 250 aparat keamanan. Mereka diinjak, ditendang, diseret, leher mereka dicekik dan ditarik oleh polisi untuk membubarkan aksi mereka. Bahkan sebagian perempuan dipindahkan secara paksa dengan cara dilempar ke semak-semak yang mengakibatkan pingsan, kesakitan dan terluka;
2) Kekerasan psikis dari polisi, yang mengancam ibu-ibu yang menolak pembangunan pabrik semen, ancamannya bahwa mereka akan diculik. Mereka juga mengalami intimidasi dari preman yang datang ke rumah warga yang menakut-nakuti ibu-ibu dengan parang.
Beberapa situasi yang pernah dilaporkan tersebut terus berlangsung hingga saat ini:
1) Terpecah-pecahnya solidaritas masyarakat dan terputusnya kekerabatan sosial karena dalam satu rumah ada anggota keluarga yang pro dan kontra dengan dimulainya pembangunan pabrik semen tersebut;
2) Terganggunya pekerjaan rumah tangga dan aktivitas ekonomi keluarga karena perjuangan yang dilakukan para perempuan sejak bulan Juni 2014;
3) Bahkan sejak 2016 ini, para perempuan tersebut mulai resah dengan munculnya warung-warung kopi di sekitar area pabrik semen yang potensial memunculkan prostitusi terselubung.
Dalam sejumlah konsultasi dengan korban, mitra dan para perempuan yang sudah lebih dari 2 tahun melakukan aksi, termasuk Komnas Perempuan, berdialog dengan para perempuan yang menyemen diri sejak kemarin (12 April 2016) di Jakarta, bahwa berbagai perjuangan yang mereka lakukan adalah untuk mempertahankan ekosistem, terutama hutan, tanah, udara dan mata air sumber kehidupan, serta mempertahankan identitas budaya lokal masyarakat yang tinggal di Gunung Kendeng.
Bagi perempuan, hutan, air dan tanah adalah sumber penghidupan, apotik sumber kesehatan dan pengobatan, lokus ekspresi budaya dan spiritual, pusat pendidikan anak dan masyarakat, serta amanat para leluhur untuk keberlangsungan generasi berikutnya.
Perjuangan perempuan Kendeng menggunakan berbagai upaya nir kekerasan, langkah-langkah kultural, membuat aksi bergilir mendiami tenda yang sudah berlangsung tahunan, datang ke lembaga-lembaga negara, menempuh proses hukum, aksi jalan panjang, hingga menyemen diri di depan istana, telah dilakukan.
Merespon berbagai perjuangan para perempuan yang berasal dari Pegunungan Kendeng di wilayah Rembang, Pati, Blora, dan Purwodadi, maka Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut:
- Negara harus menghormati perjuangan para perempuan Pegunungan Kendeng dan mendengar suara mereka untuk menghentikan pembangunan pabrik semen dan mengedepankan skema pembangunan yang merawat ekosistem;
- Negara harus menghentikan tindakan-tindakan intimidatif yang dilakukan oleh aparat, perusahaan, preman dan tindakan memecah-belah komunitas dengan politik uang. Kembalikan hak dan rasa aman perempuan Kendeng beserta komunitasnya;
- Para penegak hukum harus mengedepankan keadilan, transparan, cermat dan mendengarkan suara perempuan korban dan masyarakat;
- Presiden agar segera menemui perempuan Kendeng yang berjuang mempertahankan tanah, hutan dan sumber airnya, terutama ibu-ibu yang menyemen diri di depan istana. Presiden harus bersikap cepat dan datang langsung ke wilayah Kendeng untuk mengevaluasi serius skema kebijakan pertambangan di Jawa Tengah, khususnya dengan mendengarkan suara-suara perempuan yang selama ini aktif berjuang;
- Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menemui para ibu-ibu tersebut, mendengarkan dan memberi perhatian serius, baik dalam rangka pemulihan perempuan korban dan menjamin hak mereka atas air, hutan dan tanah;
- DPR (Pusat dan Daerah) hendaknya mengoptimalkan fungsi-fungsi pengawasan terhadap berbagai kebijakan pembangunan di wilayah Kendeng yang dikhawatirkan mengancam rusaknya ekosistem.
Pihak istana sendiri telah menyebutkan respon terhadap aksi demonstrasi yang terjadi. Kepala Staf Kepresindenan Teten Masduki, seperti dilansir kantor berita Antara, berjanji mengatur pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sembilan perempuan tersebut. Teten dan Mensesneg Pratikno telah menemui secara langsung para demonstran.
Pada Rabu malam, sembilan perempuan dari Kendeng mengakhiri aksi dengan membongkar semen yang sejak Selasa siang telah membelenggu kaki mereka, setelah aksi mereka dipastikan mendapat perhatian Presiden.