Draf RUU EBT Dinilai Belum Mewakili Aspirasi & Kebutuhan Kelompok Perempuan dan Kelompok Petani

foto : ilustrasi (ist)

Jakartakita.com – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ketahap harmonisasi.

Namun, aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan (dan juga masyarakat di daerah 3T) serta pendekatan gender dirasa belum terefleksi dan terjawab dari draf RUU EBT yang ada.

Oleh karena itu, Komisi Perempuan Indonesia (KPI) bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Webinar dengan tajuk, “RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi” di Jakarta, Jumat (04/3).

Dalam kesempatan ini, guna menyuarakan kebutuhan perempuan terhadap energi, KPI mendorong DPR RI dan Pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi.

Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.

Dian Aryani selaku Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia KK Petani menyayangkan, perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih dalam pengembangan energi EBT.

Ia juga memandang terminologi EBT tidak tepat.

Menurutnya, dari pada mengembangan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan.

Oleh sebab itu, keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting, terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.

“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarus utamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” jelasnya, seperti dilansir dalam siaran pers, Jumat (04/3).

Adapun Maftuh Muhtadi selaku Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam presentasinya, mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.

“Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” jelasnya.

Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batu bara, Maftuh mengaku tidak bisa seratus persen menolak energi fosil.

Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.

Sementara itu, Mohamad Yadi Sofyan Noor selaku Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) memandang, memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat.

Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.

“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan lokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” pungkasnya.

Senada, Rinaldy Dalimi selaku Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebutkan, keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan.

“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” terangnya.

Lebih lanjut Rinaldy berpendapat, kedepannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan akan menjadi urusan rumah tangga.

Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.

Sementara itu, Sugeng Suparwoto selaku Ketua Komisi VII DPR RI yang hadir pada kesempatan yang sama, menginformasikan bahwa RUU EBT dalam 3 bulan kedepan sudah dapat disahkan.

Ia juga menyatakan, bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan.

Namun, ia tidak menampilkan adanya sejumlah tantangan dalam mengembangkan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.

Dijelaskan, dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan.

Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun Sugeng berulang kali menjelaskan, bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi. (Edi Triyono)

Comments (0)
Add Comment