Pengajuan Sebagai Pahlawan Nasional Terus Diupayakan Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II

foto : istimewa

Jakartakita.com – Keturunan atau Trah Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) II terus berupaya agar sosok raja kedua Keraton Yogyakarta itu dijadikan sebagai pahlawan nasional.

Sesuai aturan pemerintah, salah satu syarat pengajuan seseorang tokoh menjadi pahlawan nasional mesti mendapat rekomendasi kepala daerah setempat.

Adapun pihak Keraton Yogyakarta sendiri, bisa dikatakan bersikap pasif. Pasalnya, sejak tahun 2006, pihak Trah Hamengku Buwono (HB) II telah memperjuangkan pengajuan Sri Sultan HB II sebagai pahlawan nasional ke pemerintah.

Oleh karena tak mendapat sokongan rekomendasi dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Trah Sri Sultan HB II melakukan pendekatan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo untuk mendapat dukungan yang diharapkan.

“Bulan Maret 2022 lalu, kami sudah bertemu dengan Bupati Wonosobo dalam rangka memperjuangkan agar Sri Sultan HB II bisa diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional,” tutur Fajar Bagoes Poetranto selaku Sekretaris Trah Sri Sultan HB II, di Jakarta, Jumat (15/4).

Mengapa Trah Sri Sultan HB II melakukan pendekatan kepada Pemkab Wonosobo?

Pasalnya, Sri Sultan HB II lahir di lereng Gunung Sindoro pada tanggal 7 Maret 1750, tepatnya di Desa Pagerejo, yang saat ini berada di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Cerita rakyat setempat yang mengisahkan kiprah Sri Sultan HB II semasa muda dan ritual penghargaan warga Desa Pagerejo kepada sang raja setiap malam 1 Suro masih terpelihara dan berlangsung hingga kini.

“(Sikap) Bupati menyambut positif dan sudah memerintahkan Badan Riset Daerah untuk mengumpulkan bukti-bukti sejarah sebagai bahan bagi Dinas Sosial Kabupaten Wonosobo untuk nmengajukan permohonan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan seterusnya ke Pemerintah Indonesia,” jelas Fajar Bagoes Poetranto.

Lebih lanjut, Trah Sri Sultan HB II melakukan koordinasi dan pendekatan pada Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk memfasilitasi pengembalian benda-benda atau artefak milik Sri Sultan HB II yang dirampas Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles, dalam Perang atau Geger Sepehi pada 20 Juni 1812.

Menurutnya, barang berharga hingga manuskrip-manuskrip kuno, termasuk karya dari Sri Sultan HB II, dijarah tentara Inggris saat menyerbu Keraton Yogyakarta lalu dibawa Raffles ke Eropa dan Inggris.

“Kami membutuhkan artefak, terutama manuskrip atau catatan kuno itu dikembalikan karena akan dipakai sebagai bukti artefak dalam pengajuan Sri Sultan HB II sebagai Pahlawan Nasional,” jelas Fajar Bagoes Poetranto.

Sosok Sri Sultan HB II ini dikenal sebagai sosok yang anti terhadap asing, kalau sekarang istilahnya anti penjajah.

Sikap ini sudah ditunjukkan oleh Sri Sultan HB II sejak masa kedatangan Belanda dan Perancis, termasuk kemudian ketika Inggris masuk, sikapnya masih sama.

“Sri Sultan HB II dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan Inggris kala itu sehingga harus disingkirkan,” ungkap Peter Carey, pakar sejarah Jawa, asal Inggris dalam kanal YouTube Trah Hamengku Buwono II.

Fajar melanjutkan, akibat sikap keras Sultan HB II inilah, Gubernur Jenderal Inggris kala itu, Thomas Stanford Raffles mengerahkan tentaranya, yang dibantu tentara bayaran dari India dan pasukan dari Mangkunegaran menyerbu Keraton Yogyakarta dan dikenal dengan nama Geger Sepehi.

Dalam peristiwa Geger Sepehi, Keraton Yogyakarta mengalami kerugian yang luar biasa, sebab seisi Keraton Yogyakarta kala itu dijarah oleh pasukan Inggris. Usai peristiwa Geger Sepehi ini, Sri Sultan HB II dilengserkan oleh Raffles dan digantikan oleh Sri Sultan HB III.

Setelahnya kemudian, Sri Sultan HB II diasingkan ke Penang, Malaysia oleh Raffles. 

Sebagaimana Sri Sultan HB I, Sri Sultan HB II juga meninggalkan karya-karya monumental.

Mulai dari membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik, hingga membangun Benteng Baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.

“Di bidang sastra, beliau mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan militer, seperti Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Karya sastra yang bersifat fiksi juga lahir dari pemikirannya, di antaranya; Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir ini, merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta. Selain itu, Sri Sultan HB II juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima, yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan HB II,” pungkas Fajar. (Edi Triyono)

Geger SepehiKeraton Yogyakartapahlawan nasionalTrah Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) II
Comments (0)
Add Comment