Take a fresh look at your lifestyle.

Pemanfaatan EBT Jadi Penentu Tercapainya Kedaulatan Energi

0 3,925
foto : ilustrasi (ist)

Jakartakita.com – Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan penentu tercapainya kedaulatan energi di Indonesia. Dalam janji politik Pemerintahan Jokowi–JK yang dikenal dengan Nawacita, sektor energi turut menjadi prioritas Pemerintah.

“Kedaulatan energi itu menjadi keharusan, sebab pemenuhan energi dari dalam negeri, akan mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama yang berasal dari minyak dan batubara. Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi, maka Bangsa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dari dalam negeri,” terang Sekjen PROJO, Handoko, dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (26/7).

Dijelaskan, paradigma pengelolaan energi nasional harus berubah, dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi.

Menurut Handoko, melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia selayaknya bisa dimanfaatkan secara optimal.

“Meski demikian, salah satu kendala besar pengembangan EBT kita, adalah mahalnya teknologi yang banyak kita impor dari luar negeri. Untuk itu, penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas sehingga kita tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri,” jelasnya.

Lebih lanjut diungkapkan, dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara.

Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit nasional.

Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga.

Tetapi bagaimanapun, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara, juga akan turut mengerek harga jual listrik.

“Bayangkan saja, bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD 100/barrel misalnya, pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam,” ungkapnya.

Beda kondisinya apabila Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi.

Menurut Handoko, yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik, sebenarnya Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro), juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal. Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW.

Related Posts
1 daripada 6,499

Begitu juga posisi Indonesia yang berada di area ring of fire Asia Pasifik, yang menjadi tempat bertemunya sejumlah gunung berapi yang masih aktif di wilayah Asia Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat, dengan potensi lebih dari 28 GW. Namun pemanfaatannya masih sangat kecil.

“Untuk harga jual listrik, PLTU Batubara memang paling murah. Saat ini, PLN bisa membeli dengan harga USD 5 cent/kWh dari Independent Power Producer (IPP) tetapi harga batubara fluktuatif, dan juga tidak ramah lingkungan. Adapun pembangunan PLTA harganya mahal, antara lain karena porsi pekerjaan sipil (civil work) yang besar, seperti pengerjaan bendungan dan penstock (pipa pesat) serta lokasinya yang sulit diakses. Tetapi energi primernya bisa diperoleh dengan gratis dan bisa dibangun beberapa pembangkit dalam satu aliran sungai dalam jarak yang berdekatan (cascade/ berjenjang) dengan memanfaatkan perbedaan elevasi,” terang Handoko.

Selama ini, lanjut dia, banyak masalah yang harus dihadapi para investor untuk membangun pembangkit listrik, mulai dari pengurusan perizinan, pembebasan lahan, atau juga isu sosial yang melibatkan masyarakat sekitar, karena lokasi pemukimannya akan dijadikan bangunan pembangkit.

Namun, pemerintahan Jokowi – JK telah membuat berbagai terobosan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, mulai pemangkasan birokrasi perizinan hingga kebijakan-kebijakan yang mempermudah investasi.

Menyinggung soal biaya investasi (Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT, diakuinya masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil.

PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar USD 4 juta/MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar USD 1,5 juta – USD 2 juta/MW.

Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya.

“Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah. Ketika anda mengeksplorasi sebuah lapangan geothermal dan melakukan pengeboran, tingkat keberhasilannya tak lebih dari 20%,” tutur Handoko.

Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp 28 miliar, di mana komponen terbesarnya adalah pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas.

PLTS hanya dapat beroperasi di siang hari, sehingga untuk mengimbanginya, diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil.

“Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan Solar Cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai,” tambahnya.

Sebagai payung hukum, Pemerintah sudah punya Perpres No. 2 tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Dari sana ditetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2018 ini sudah mencapai 12,5%.

Khusus mengenai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), dilakukan dengan pengembangan centralized PV (photovoltaic system), guna melistriki banyak komunitas terpencil yang jauh dari grid pada daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara tetangga dan pulau-pulau terluar lainnya.  (Edi Triyono)

Tinggalkan komen