Gelombang PHK Juga Terkait Dengan Ketahanan Energy dan Pangan Nasional
Jakartakita.com – PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menjadi pemberitaan hangat belakangan ini, setelah dua perusahaan asal Jepang, Panasonic dan Toshiba memutuskan untuk menutup pabriknya di Indonesia.
Tak ayal, ribuan pekerja terdampak langsung akibat kebijakan ini. Belum lagi sektor lainnya, sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor informal disekitar lingkungan pabrik yang juga terdampak akibat kebijakan tersebut.
Menyikapi kondisi tersebut, Aliansi Kebangsaan pada hari Jumat (12/2/2016) di Jakarta, menggelar diskusi yang mengangkat tema “Diambang Gelombang PHK” dengan pembicara Prof. Didin S. Damanhuri, Umar Juoro MA, Dirgo D. Purbo, Dr. Yudi Latif, Prof Dawam Rahardjo, Pontjo Sutowo, dan lain-lain.
“Yang terpenting, apa solusi menyeluruh menghadapi PHK yang telah dan kemungkinan bakal terjadi serta bagaimana seharusnya menyusun ‘policy mix’ agar pembangunan ekonomi kedepan lebih berorientasi kepada ‘full employment’ sebagaimana dipesankan oleh pasal 27 ayat 2 UUD 1945, yakni bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” papar Prof. Didin S. Damanhuri.
Adapun Umar Juoro menjelaskan, ditengah tren pelemahan laju perekonomian dunia, bagi industri padat karya, upaya mengurangi tenaga kerja menjadi pilihan untuk mengurangi beban biaya.
“Sektor yang paling terpukul adalah pertambangan termasuk migas yang tumbuh -5 persen. Dengan harga komoditas yang menurun tajam, khususnya batubara dan minyak, maka PHK menjadi pilihan. Sektor pertambangan ini tidak mempekerjakan jumlah pekerja yang besar, namun berkaitan dengan jasa pendukung yang juga ikut terpukul,” jelas Umar.
“Peningkatan pengeluaran pemerintah diharapkan dapat menambah kesempatan kerja, namun implikasi terhadap penciptaan kerja juga relatif terbatas. Alokasi dana desa juga diharapkan dapat memberikan tambahan kesempatan kerja di pedesaan,” sambungnya.
Sementara itu, Dirgo D. Purbo mengkaitkan tren PHK dan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, dengan berubahnya konstelasi geopolitik, geostrategic dan geoekonomi global, terkait harga minyak (oil) di pasar dunia.
Indonesia sendiri, tuturnya, praktis sejak lebih dari satu dekade terakhir menjadi negara pengimpor minyak. Ketergantungan yang sangat besar terhadap minyak dunia inilah yang terus menggerus ketahanan devisa dan ketahanan energy nasional. Dan pada kenyataannya, selain minyak, Indonesia juga sangat tergantung oleh negara lain di sektor industry pangan.
“Padahal, ketahanan nasional suatu bangsa dilihat dari seberapa besar ketahanan sumber daya energy dan pangannya. Kalau dua hal tersebut sudah diserahkan supply-nya oleh negara lain, selesai sudah ketahanan negara tersebut,” tandas Dirgo.