Take a fresh look at your lifestyle.

Diet Kantong Plastik? Why Not?

0 1,376
foto: istimewa
foto: istimewa

Jauh hari sebelum pemerintah menetapkan harga Rp 200 per kantong plastik saat belanja di ritel modern. Saya dengan kesadaran penuh sudah terbiasa menyelipkan tas kain di dalam tas saya untuk jaga-jaga kalau saya harus berbelanja.

Bahkan belanja sayur di pasar atau tukang sayur pun saya membawa tas sendiri. Saya selalu menolak kalau sang tukang sayur membungkus belanjaan saya dengan plastiknya.

“Masukin sini aja bu!”

Si tukang sayur awalnya keheranan, “jangan nanti kotor loh, saya lapisi dulu ya”.

“Gak usah bu, ini memang tas untuk belanja sayur bukan buat nge-mall”.

Barulah si tukang sayur memasukkan semua belanjaan saya ke dalam tas kain saya. Untuk belanjaan ikan, ayam, dan bahan makanan lain yang berair memang masih dilapisi plastik, kangkung, tempe, dan lain-lain masuk ke dalam tas. Tetapi biasanya tukang sayur sudah membungkus bumbu-bumbu dengan kertas bekas sih. Jadi tidak terlalu mengotori tas belanjaan saya.

Saat saya berbelanja dalam jumlah besar di ritel modern pun saya lebih suka meminta tolong kasir menggunakan kardus ketimbang plastik. Karena saya malas menenteng banyak plastik. Kalau belanjaan saya cuma sedikit, langsung saya masukkan saja ke dalam tas. Malah, kasir yang terheran-heran saya menolak kantong plastik. Terkadang di ritel tertentu saya sering mendapatkan diskon khusus hingga Rp 2.000 karena sama sekali tidak menggunakan plastik lho.

Related Posts
1 daripada 26

Apa saya anti plastik? Tidak juga, di rumah saya punya plastik khusus untuk melapisi tempat sampah. Agar memudahkan saya dalam membuang sampah.

Plastik adalah produk non biodegradable yang mempunyai potensi dalam membuat kerusakan parah bagi lingkungan. Pada umumnya, plastik merupakan polimer sintetik yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik, dan sebagian besar berasal dari petrokimia seperti olefin. Bahan plastik yang utama diklasifikasikan sebagai termoplastik dan polimer thermosetting. Meskipun hal ini sangat berguna dalam berbagai keperluan dan telah menjadi bagian penting dari industri polimer global, pembuangan sampah plastik menjadi ancaman yang besar bagi kehidupan semua makhluk di dunia.

Plastik dapat terurai sekitar 500 – 1000 tahun, meskipun kita mungkin tidak pernah tahu waktu yang sebenarnya, karena bahan ini telah digunakan jangka panjang hanya sejak abad terakhir. Selama pembuatannya, banyak bahan kimia berbahaya yang dipancarkan yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia serta binatang. Etilen oksida, xylene, dan benzene adalah beberapa racun kimia yang terdapat di dalam plastik, yang dapat memberikan efek buruk terhadap lingkungan. Dampak buruk plastik juga dapat menyebabkan kerusakan permanen pada makhluk hidup. Beberapa zat aditif ditemukan dalam plastik seperti halnya phthalates, adipates, dan bahkan alkilfenol telah dinyatakan sebagai bahan beracun.

Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta, tumpukan sampah di wilayah DKI Jakarta mencapai lebih dari 6.000 ton per hari dan sekitar 13 persen dari jumlah tersebut berupa sampah plastik.

Dari seluruh sampah yang ada, 57 persen ditemukan di pantai berupa sampah plastik. Sebanyak 46 ribu sampah plastik mengapung di setiap mil persegi samudera bahkan kedalaman sampah plastik di Samudera Pasifik sudah mencapai hampir 100 meter. Dan jumlah tersebut akan terus meningkat jika kita tidak mulai diet kantong plastik dari sekarang.

Bahkan saya pikir pemberlakuan harga  Rp 200 per kantong plastik itu sangat murah bila dibandingkan dengan efek samping yang ditimbulkan dari sampah plastik yang mengotori bumi. Alangkah baiknya bila alokasi uang hasil penjualan kantong plastik belanjaan itu digunakan untuk membiayai proyek pengolahan sampah. Kalau perlu ada laporan dari setiap ritel berapa jumlah uang hasil penjualan kantong plastik dan digunakan untuk apa.

Bayangkan bila semua uang yang terkumpul dipergunakan untuk patungan mesin pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik. Wow, masalah sampah akan teratasi berbarengan dengan krisis listrik.

Yuk, diet kantong sampah demi keberlangsungan alam. Kita tidak mau mewariskan gunungan sampah bukan kepada anak cucu kita? Apa susahnya sih membawa tas ramah lingkungan dari rumah.

(Disclaimer: Rubrik “Jakarta Kita” adalah kumpulan artikel non formal yang lebih bersifat opini atau fiksi bukan bagian dari berita resmi jakartakita.com)

Tinggalkan komen