Jakartakita.com – Yayasan Suluh Nuswatara Bakti (YSNB) bersama Aliansi Kebangsaan dan FKPPI menyelenggarakan Bedah Buku ‘Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila’ di Asean Room, Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (7/3).
Hadir dalam acara tersebut; Pembina YSNB selaku Ketua FKPPI dan Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo serta 8 narasumber lain, yaitu; Bob Mangindaan, Prof Sofian Effendi, Prof Kaelan, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Mayjen (Purn) I. Gede Putu Rai, Isnaeni, R.M.A.B. Kusuma, dan Prof. Yudhie Haryono.
Dalam kesempatan ini, Pontjo Sutowo mengungkapkan bahwa buku ‘Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila’ merupakan buku yang isinya membangun kesamaan persepsi, serta menumbuhkan kesadaran (awareness) dan kewaspadaan (alertness) kolektif bangsa Indonesia terhadap seriusnya berbagai bentuk ancaman yang dihadapi bangsa dan negara ini.
Menurut Pontjo Sutowo, membangun kesamaan persepsi tentang ancaman yang dihadapi bangsa dan negara sangatlah penting, agar bangsa dapat bersatu padu dalam merespons setiap ancaman dengan baik dan menemu-kenali solusi yang tepat.
Dijelaskan bahwa dalam konteks membangun pertahanan negara, persepsi ancaman menjadi basis dalam perencanaan pertahanan.
Hal tersebut mengacu pada pendapat Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) bahwa kegagalan suatu bangsa tidak terjadi dengan tiba-tiba.
Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan. Dan karena kegagalan suatu negara tidak terjadi secara tiba-tiba, maka kini perlu segera dilakukan perencanaan pertahanan.
“Perencanaan pertahanan tersebut, harus dilaksanakan secara sadar, terencana, sistematis, terarah, dan berkelanjutan dengan tetap bersendikan pada nilai-nilai dan karakter bangsa, agar pertahanan bangsa dapat mengikuti ancaman yang selalu berubah sesuai kondisi jamannya,” ucap Pontjo Sutowo.
Sedangkan Kiki Syahnakri menyebut bahwa Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu bentuk ancaman bagi nilai-nilai bangsa dan pertahanan negara.
Hal ini karena ada invisible hand dalam Amandemen UUD 1945. Adapun beberapa indikasinya adalah UU Referendum dihapus, Penjelasan dihapus, 6 butir yang tidak boleh berubah dilanggar, dan kehadiran NDI di Senayan.
“Jika kondisi tersebut tidak dikaji ulang, maka pertahanan negara dalam posisi genting. Amandemen UUD 1945 dapat menggiring pada perpecahan bangsa, sebab, sendi-sendi negara seperti nasionalisme, patriotisme, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong telah dibuat luntur,” tegas Kiki Syahnakri.
Sementara R.M.A.B. Kusuma mengatakan, jika UUD Amandemen 2002 merupakan bentuk pembubaran negara proklamasi UUD 1945 dan penggantian UUD 1945. Terlebih, UUD Amandemen 2002 tidak mendasarkan pada Pancasila dan memiliki semangat liberalisme yang berbeda jauh dengan UUD 1945.
“Kondisi ini perlu menjadi pemikiran seluruh anak bangsa, dalam menyusun kembali pertahanan negara,” kata R.M.A.B. Kusuma.
Di tempat yang sama, Mayjen (Purn) I Dewa Putu Rai mengatakan, buku ‘Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila’ secara umum berisi dua hal.
Pertama, saran atau pemikiran dalam menyempurnakan atau updating konsep dan doktrin pertahanan nasional.
Kedua, saran atau pemikiran dalam menguatkan kondisi pertahanan nasional bangsa.
Hal ini karena ancaman keamanan nasional telah berkembang lebih luas. Yaitu; Ancaman terhadap Keamanan Negara, Ancaman terhadap Keamanan Masyarakat, dan Ancaman terhadap Keamanan Insani.
“Untuk itulah, maka kini harus dibuat langkah untuk mengenali kemungkinan ancaman, serta membangun keuletan dan ketangguhan negara di segala bidang kehidupan,” kata Putu Rai.
Adapun Yudhie Haryono menyatakan, buku ‘Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila’ membuka mata kepada seluruh anak bangsa, bahwa Indonesia tidak memiliki sistem peringatan dini dan protokol krisis kenegaraan guna memastikan keamanan, ketahanan, dan kemartabatan negara dan sebagai warga negara di dunia.
Ketidakadaan keduanya, menyebabkan bangsa ini tidak menyadari ancaman tantangan hambatan dan gangguan (ATHG) virus demokrasi liberal yang kini berkembang, yang mengakibatkan berkuasanya oligarki, absennya UU Indonesia, absennya mentalitas Indonesia, ataupun ancaman nir militer lainnya.
“Karena itulah, maka sistem peringatan dini dan protokol krisis harus segera dibangun di Indonesia. Keduanya, tentu saja harus berlandaskan Pancasila guna memastikan bantuan bagi otoritas kenegaraan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat,” tandas Yudhie Haryono. (Edi Triyono)