Take a fresh look at your lifestyle.

Inilah ‘Jawa’ dalam Imajinasi Seniman Hanafi

0 1,307
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati

Jakartakita.com – Apakah ‘Jawa?’ Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau teritorinya hanya nyata dalam bahasa Jawa? Inilah sebuah pertanyaan yang coba untuk dijabarkan Hanafi dalam pameran tunggal bertajuk “Pintu Belakang | Derau Jawa” yang diselenggarakan di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jl Medan Merdeka Timur 14, antara 1-15 Maret 2016.

Penjabarannya tentang ‘Jawa’ telah dilakukan sebelumnya oleh Hanafi dalam pameran bertajuk “Oksigen Jawa” di Galeri Soemardja ITB, Bandung, tahun lalu. Kali ini, “Pintu Belakang | Derau Jawa” yang dikuratori Agung Hujatnikajennong lebih untuk melihat bagaimana ‘Jawa’ sebagai sebuah “bungkusan identitas”. Apakah masih merupakan faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena ‘Jawa’ merupakan mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini.

foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati

Pintu belakang merupakan imajinasi lain tentang ‘Jawa’. Pintu belakang dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait dengan istilah “jalan belakang” untuk berbagai hubungan informal tanpa publik.

“Kalau pulang ke rumah, aku lebih suka masuk lewat pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan bayangan bapak yang duduk di kursi menatap lurus ke luar pintu. Posisi yang mengandung konstruksi kekuasaan untuk mengawasiku. Kini pintu belakang tidak berfungsi lagi. Halaman belakang lalu berubah jadi sebuah ideologi yang kosong, kemudian cenderung diisi dengan sampah,” kata Hanafi.

Related Posts
1 daripada 1,844
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati

“Kalau kita tidak punya pintu belakang, kita tidak punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,” lanjutnya.

‘Jawa’ yang dialami Hanafi berada di luar lingkaran Keraton. Walau untuk masyarakat Yogyakarta, Purworejo (tempat kelahiran Hanafi pada 5 Juli 1960) disebut sebagai daerah Bagelen. Software identitas yang cair ini membuat Hanafi nyaris tidak memiliki beban untuk mengalami ‘Jawa’ secara personal.

foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati
foto: Jakartakita.com/Indah Purwati

Karya Hanafi juga tidak melulu lukisan, ada seni instalasi, payung, artistik panggung kolaborasi dengan seniman tari, feather dan sastra. Sudah ada 38 pameran tunggal dan 80 pameran bersama dalam kurun waktu 25 tahun. Dia juga telah memenangi sejumlah penghargaan seni, seperti 10 terbaik Philip Morris Art Award, Anugerah Kebudayaan Universitas Indonesia, dan Food Art Award (2002 dan 2003).

Hanafi juga bisa dikunjungi di Studio Hanafi, Jl. Raya Cinere Gg. Manggis 72, Depok 16434 (021-77882771) dan di website www.studiohanafI.com. (Indah Purwati)

Tinggalkan komen